Sabtu, 23 Juli 2011

BINTANG AKAN TETAP BERSINAR


“Kak Andi mau kemana?” tanya Vina.
            “Biasalah, kakak mau pergi sama Bintang. Maaf ya, malam Minggu ini kamu enggak bisa pergi dulu sama Bintang, soalnya dia udah kakak booking duluan!” kata Andi sambil melirik ke arah Bintang.
            “Enak aja, memangnya loe pikir gue kamar apa pakai di booking segala!” kata Bintang sambil melayangkan tinjunya ke bahu Andi.
            “Kakak enggak mau balapan kan?”
            “Tenang aja, kakak enggak akan kenapa – kenapa kok,” kata Andi lalu memeluk dan mencium kening Vina.
            Ada perasaan aneh sewaktu Andi memeluknya. Vina berdoa dalam hati supaya apa yang tidak di khawatirkan tidak terjadi.
            Setelah mereka pergi, perasaan Vina pun menjadi tidak menentu.
            3 jam kemudian....
            “Apa? Kakakku kecelakaan? Terus, sekarang ada dimana?”
            “Di Rumah Sakit Cahaya Vin!” kata orang diujung telepon sana.
            Bergegas Vina dan kedua orang tuanya menuju Rumah Sakit. Di sana sudah terdapat Bintang dan teman – temannya yang lain.
            “Vin, kamu tenang dulu ya!” kata Bintang lalu mengambil napas dalam – dalam. “Maafin aku Vin...”
* * * *
1 tahun kemudian
“Vin, gue abis ngeliat pangeran tampan di sekolah kita ini!” kata Rita heboh.
“Apaan sih loe Ta? Enggak penting banget,” kata Vina cuek.
“Pokoknya loe harus liat dia!”
“Penting? Malas ah!” kata Vina yang masih asyik dengan bukunya.
“Udah yuk cepetan!” kata Rita yang tidak sabar lalu menarik tangan Vina dengan paksa.
“Mana ya orangnya?” kata Rita sambil terus mencari.
“Enggak ada kan orangnya? Gue balik ke kelas ya!” kata Vina lalu membalikkan badannya.
“Tunggu!” cegah Rita. “Loe liat orang – orang itu?” tanya Rita yang menunjuk segerombolan orang.
“Iya.”
“Loe liat orang yang pakai jaket biru?”
“Oke!”
“Itu orangnya!”
Vina memperhatikan sejenak orang itu, dia seperti mengenalnya. Sewaktu orang itu membalikkan badannya, raut wajah Vina pun mendadak berubah.
“Itu orangnya?”
“Iya. Ganteng kan?”
“Jelek!” sahut Vina lalu berlalu meninggalkan Rita yang terpaku sendiri.
“Kok jelek sih? Orang ganteng gitu!” gumam Rita.
* * * *
“Vin, gue liat sikap loe dari tadi pagi beda banget deh!” kata Rita sewaktu makan siang di mall.
“Beda kenapa? Kayaknya biasa aja deh!”
“Ihh... dibilangin! Sejak gue kasih tau ke loe anak baru itu, emangnya loe kenal sama cowo itu?” tanya Rita penasaran.
Vina diam tidak menjawab.
“Lho kok diem? Jawab dong Neng!” Vina masih tetap diam. “Ya udah!” Rita pasrah.
“Namanya Bintang Gunawan, biasa dipanggil Bintang. Dia pindahan dari Bandung. Hobinya itu maen basket, ngeband, dan ....” Vina tidak meneruskan kata – katanya.
“Dan?” tanya Rita yang masih penasaran.
“Dan... dan... dandan,” kata Vina asal.
“Ah ngaco loe!” kata Rita sambil tertawa. “Elo kok bisa tahu?”.
“Enggak penting gue tahu dari mana, yang penting kan loe tahu tentang  dia.”
“Hai Vina. Hai Rita!” sapa Erwind, ketua OSIS di sekolahnya.
“Hai Kak. Kakak disini juga? Sendirian?” tanya Vina.
“Oh enggak, gue sama teman,” jawab Erwind.
“Mana? Jangan – jangan temannya setan ya, jadi enggak keliatan?”
“Huusss... sembarangan ngomongnya! Teman gue itu ganteng kali, Rit.”
“Sorry lama,” kata sebuah suara dibelakang mereka.
Mereka bertiga pun menoleh ke arah suara. Vina terdiam. Raut mukanya seketika berubah masam.
“Nih kenalin teman gue, namanya Bintang. Dia anak baru di sekolah kita, pindahan dari Bandung,” kata Erwind.
Tanpa basa – basi, Vina bangkit berdiri dan langsung pergi meninggalkan mereka. Rita yang bingung pun langsung mengejar Vina.
“Aneh. Kenapa ya Tang?” tanya Erwind bingung.
Bintang hanya mengangkat bahunya tinggi – tinggi lalu terdiam seribu bahasa.
* * * *
“Vin,” panggil seseorang dibelakang Vina.
“Bintang?”
“Vin, aku mau ngomong sama kamu!”
“Gue malas ngomong sama loe,” kata Vina lalu membalikkan badannya dan pergi.
Tetapi dengan sigap Bintang meraih tangannya.
“Bintang, lepasin!” kata Vina dengan suara rendah sambil melihat sekelilingnya.
“Aku mau ngomong Vin, dengerin dulu!”
“Dari tadi kan loe udah ngomong, ya sudah kan?”
“Hai Kak Bintang...” sapa Seshi. “Ihh... kok pegang – pegang Vina sih?”
Vina lalu menghempaskan tangan Bintang dengan keras lalu berlari menuju kelasnya.
“Vin, loe kenapa? Kok lari – lari sih, udah kayak dikejar kantib aja!” kata Rita heran.
“Enak aja loe, emangnya loe pikir gue bencong Taman Lawang?” kata Vina sambil memukul pelan lengan Rita.
“Ya habis kenapa lari – lari gitu?”
Belum sempat Vina menjawab, Seshi datang sambil marah – marah.
“Loe enggak usah sok kecentilan sama Kak Bintang, dia itu punya gue!” kata Seshi.
“Ih... kenapa sih loe dateng – dateng sambil marah – marah enggak jelas! Stres loe ya?” kata Vina diiringi tawa satu kelas.
“Udah deh, enggak usah sok bego! Loe pengen ngerebut Kak Bintang dari gue kan? Eh Vin, ngaca dong dirumah. Jangan – jangan loe enggak punya kaca ya? Kasian banget sih loe!” kata Seshi sambil mengibaskan rambut panjangya.
“Harusnya loe dong yang harus ngaca. Pantes enggak loe buat dia?”
“Lho, kenapa enggak? Gue ini kan cantik, modist, populer. Semua orang pasti suka sama gue!” kata Seshi dengan percaya diri.
“Loe cantik? Hahaha...” kata Vina sambil tertawa. “Muka dempulan gini loe bilang cantik? Cantik kalo dijejerin sama badut Dufan!”
Rita dan teman – temannya yang dari tadi menahan tawa pun akhirnya tertawa juga. Seshi malu setengah mati.
“Awas loe Vin! Jangan pernah deketin Kak Bintang lagi!” kata Seshi dengan muka merah merekah.
“Loe mau dia? Ambil, gue enggak butuh! Lagipula, gue juga enggak tertarik sama dia!” kata Vina.
Tanpa sepengatahuan Vina, ada sepasang mata basah yang mengawasinya.
* * * *
 “Vin, tolong buka pintunya!” pinta mamanya.
Dengan malas Vina beranjak dari sofa dan membukakan pintu.
“Vin.”
“Bintang,” kata Vina kaget.
“Vin, aku mau ngomong sama kamu!” kata Bintang penuh harap.
“Loe mau ngomong apa?”
“Aku mau minta maaf ke kamu, dengan apa yang udah aku lakukin ke kamu,” kata Bintang. “Vin, kejadian itu benar – benar enggak disengaja, itu murni kecelakaan Vin.”
Vina diam seribu bahasa.
“Vin.”
“Maaf Bintang, gue masih enggak bisa nerima semuanya. Gue masih belum bisa maafin loe.”
“Gimana caranya biar aku bisa dapat maaf dari kamu Vin?” tanya Bintang yang hanya disambut gelengan dari kepala Vina.
“Vin, aku pindah ke Jakarta karena kamu. Aku sayang sama kamu. Aku merasa terbebani dengan kejadian itu Vin.”
Tak terasa air mata mengalir di pipi Vina.
“Kenapa loe baru nyusul gue sekarang? Kemana aja loe satu tahun ini Tang? Kenapa loe muncul disaat gue mau ngejalanin hidup gue yang baru tanpa Kak Andi?” tanya Vina setengah berteriak.
“Aku... Aku... Aku takut kamu enggak mau maafin aku,” kata Bintang gugup.
“Gue enggak tau Bintang, masih bisa apa enggak maafin loe.”
“Vin aku mohon, apa aja!” kata Bintang masih terus memohon. “Apa perlu dengan nyawa aku?” tanya Bintang tiba – tiba yang membuat Vina kaget setengah mati.
Vina diam tidak menjawab. Sesaat kemudian Bintang pergi meninggalkan Vina yang masih berdiam terpaku sambil terus menangis.
“Siapa Vin?” tanya mamanya.
Vina tidak menjawab pertanyaan mamanya dan pergi berlari menuju kamarnya meninggalkan mamanya yang heran sendirian.
* * * *
“Kenapa loe Vin? Lemas amat pagi ini?” tanya Rita yang heran dengan sikap Vina yang tak bergairah.
“Habis dipake kali temen loe, makanya dia lemas begini,” sahut Seshi dari barisan belakang.
“Oh, loe ngomongin diri sendiri?” tanya Rita pedas.
Seshi yang merasa di skak langsung diam dan memasang wajah cemberut.
“Kita cerita di tempat lain aja,” ajak Vina.
“Tapi pelajarannya gimana?”
“Ibu Neni enggak masuk, tadi gue dengar dari Bayu,” kata Vina lalu langsung menarik tangan Rita menuju lorong di belakang sekolah.
“Oke, loe mau cerita apa?”
“Bintang.”
“Kak Bintang? Kenapa dia? Emangnya loe udah kenal dia sebelumnya?”
Vina mengangguk pelan. “Setahun yang lalu, gue dikenalin sama kakak gue. Dia itu lelaki yang perfect dimata gue. Dia ganteng, pintar, jago olahraga, baik, perhatian, pokoknya dia itu enggak ada cela sedikit pun bagi gue. Akhirnya gue pacaran sama Bintang, hubungan kita baru berjalan 5 bulan, tetapi kejadian itu telah merenggut semuanya!” kata Vina lalu terdiam.
“Kejadian apa Vin?” tanya Rita penasaran.
“Kakak gue dan Bintang hobby banget balapan motor, gue udah sering memperingatkan mereka, tapi semua perkataan gue enggak ada yang mau dengar. Malam itu, mereka berdua ikut balapan motor dan Bintang ngeboncengin kakak gue, naasnya mereka berdua kecelakaan. Bintang cuma luka – luka ringan, tapi...” Vina mulai menangis terisak. “Tapi kakak gue meninggal Rit. Bintang udah ngebunuh kakak gue, gue benci dia Rit!” kata Vina yang masih menangis.
“Udah Vin, tenang ya.”
Rita pun memeluk Vina untuk menenangkannya.
Rita bingung harus berbuat apa, tanpa sadar kini matanya telah berlinang air mata, dia seperti bisa merasakan apa yang dirasakan Vina selama ini.
* * * *
“Vin, mama boleh tanya sesuatu ke kamu?” tanya mamanya.
“Tanya apa Ma? Kok serius banget?” tanya Vina heran.
“Waktu itu yang datang ke rumah, Bintang kan?”
Vina diam tidak menjawab.
“Kamu enggak usah bohong sama mama Vin. Kamu sebenarnya masih sayang kan sama Bintang? Meskipun waktu itu kamu punya pacar lagi, tetapi sebenarnya kamu enggak bisa melupakan Bintang kan? Mama sering lihat kamu memandangi foto kakakmu berdua sama Bintang dan kamu pasti menangis. Makanya, mama bisa mengambil kesimpulan seperti ini.”
Belum sempat Vina menjawab, handphone-nya berbunyi.
“Hallo.”
“Hallo Vin. Vin, ini gue Erwind. Bintang kecelakaan, sekarang dia lagi ditangani di RS Bakti. Loe cepat kesini ya!” kata Erwind terburu – buru dan langsung mengakhiri pembicaraannya.
“Mama. Bintang kecelakaan.”
Tanpa banyak membuang waktu, Vina dan mamanya langsung menuju Rumah Sakit untuk melihat keadaan Bintang.
* * * *
2 jam yang lalu
“Loe masih berani turun ke jalan Tang?” tanya Rey.
“Kenapa enggak?” tanya Bintang heran.
“Setelah kejadian di Bandung itu, loe udah enggak pernah keliatan lagi, gue kira loe udah enggak berani,” kata Rey sedikit melecehkan.
“Dan loe, kenapa bisa ada di Jakarta?” tanya Bintang heran.
“Gue udah pindah dari 5 bulan yang lalu. Enggak gue sangka bisa ketemu sama loe di arena balapan. Siap – siap loe kalah dari gue dan hati – hati nasib loe akan seperti Andi,” kata Rey diiringi tawa kemenangan.
Tak lama kemudian, Rey dan Bintang sudah bersiap diatas motornya masing – masing.
Tersungging senyuman misterius dibibir Rey. Dan semua pun terjadi.
* * * *
“Kak.”
“Vina, akhirnya loe datang juga,” kata Erwind dengan nada khawatir.
“Bintang. Gimana keadaannya?” tanya Vina cemas.
“Masih di dalam,” kata Erwind sambil menunjuk ruang UGD.
“Kenapa Bintang bisa sampai kayak gini?” tanya mamanya Vina.
Erwind pun menceritakan kronologis kejadiannya.
“Rey? Jadi tadi kalian ketemu sama Rey?” kata Vina kaget.
“Memangnya kenapa Vin? Kamu kenal sama Rey?” tanya mamanya.
“Vina pernah diceritain sama Kak Andi, kalau mereka itu musuh bebuyutan. Dan waktu kecelakaan itu, mereka berdua lagi balapan,” kata Vina menjelaskan. “Terus sekarang Rey kemana?” kini Vina beralih ke Erwind.
Erwind hanya bisa mengangkat bahunya.
Tiba – tiba pintu UGD terbuka dan seorang dokter muda keluar dari ruangan itu.
“Bagaimana keadaan Bintang, Dok?” tanya Vina yang bisa jelas membaca nama dokter tersebut di baju dinasnya, Dr. Dimas Pramunegara. Tapi bukan itu yang terpenting bagi Vina saat ini.
“Bintang baik – baik saja dan sudah siuman, tetapi keadaannya masih sangat mengkhawatirkan dikarenakan benturan keras yang mengenai kepalanya,” kata Dr. Dimas menjelaskan. “Kalian keluarganya?”
“Bukan. Saya temannya. Keluarganya sedang dalam perjalanan,” kata Erwind.
“Oke kalau begitu, saya tinggal dulu. Kita hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Bintang. Selamat malam,” kata Dr. Dimas lalu pergi menuju ruangannya.
“Vina,” kata seorang wanita separuh baya sambil berlinang air mata.
“Tante Mira,” kata Vina lalu mereka berdua pun saling berpelukan.
“Tante kangen sama kamu Vin. Oh iya bagaimana keadaan Bintang? Dia baik – baik aja kan?” tanyanya penuh harap.
“Bintang udah siuman, tetapi keadaannya masih mengkhawatirkan.”
“Maaf, disini ada yang bernama Vina?” tanya seorang suster.
Vina bangkit berdiri dan menghampiri suster tersebut. “Ada apa ya?”
“Bisa ikut saya ke dalam sebentar?” ajak suster tersebut.
Vina pun mengikuti suster tersebut ke dalam ruangan dimana Bintang sedang dirawat. Timbul banyak pertanyaan dibenak Vina saat itu.
“Vin.”
“Iya Tang,” kata Vina dengan air mata terus menetes.
“Maafin aku Vin,” kata Bintang dengan susah payah lalu meraih tangan Vina.
“Aku udah maafin kamu Tang, kamu harus sembuh.”
“Terlambat Vin, aku mau pergi jauh ninggalin kamu. Mungkin kita enggak akan pernah bertemu lagi untuk selamanya. Mungkin orang yang akan aku temui pertama kalinya adalah Andi. Aku mau minta maaf sama dia.”
Vina hanya bisa diam dan terus menangis.
“Vin, kamu harus tahu kalau aku itu sayang banget sama kamu. Kalau aku sudah pergi nanti, kamu jangan lupain aku yah, kalau kamu ingin bertemu aku, kamu coba lihat bintang – bintang dilangit, disanalah aku ada untuk kamu.”
“Cukup Tang, kamu enggak perlu ngomong apa – apa lagi, aku enggak mau dengar semua omongan kamu. Aku masih sayang kamu, kamu enggak boleh pergi, kamu harus bertahan demi aku dan cinta kita!” kata Vina sambil terisak.
“Kamu enggak perlu nangis, aku akan tetap ada dihati kamu dan disekitar kamu, kamu pasti akan bisa merasakan setiap kehadiran aku lewat udara pagi yang segar, hangatnya sinar matahari, dan hembusan angin malam. Jadi, kamu enggak akan pernah kehilangan aku untuk selamanya,” kata Bintang sambil tersenyum manis. Senyuman yang telah lama menghilang dari kehidupan Vina selama setahun belakangan ini.
“Tang...,” Vina tak bisa berkata – kata lagi.
“Aku sayang kamu Vin, selamat tinggal,” Bintang lalu menutup mata untuk selama – lamanya.
“BINTANG...”
* * * *
Dua minggu sudah Bintang pergi untuk kembali bertemu dengan Andi, sahabatnya sejak SMA. Dan dua minggu sudah Vina menatap bintang – bintang di langit setiap malam. Ia percaya apa yang telah dikatakan oleh Bintang bahwa ia akan menjadi bintang – bintang dilangit yang gelap.
Kini Vina sudah bisa merelakan kepergian Bintang dan Andi dengan senyuman, karena Vina yakin kalau Bintang dan Andi juga akan tersenyum bahagia diatas sana.
“Vina. Ngelamun aja loe!” kata Rita yang membuat Vina terbangun dari lamunannya. “Loe mikirin apaan?”
Belum sempat Vina menjawab, Bu Anis wali kelas mereka sudah masuk ke kelas.
“Selamat pagi anak – anak.”
“Selamat pagi, Bu.”
“Anak – anak, hari ini kalian kedatangan teman baru pindahan dari Bandung,” kata Bu Anis lalu memanggil seseorang yang berada diluar. Tak lama kemudian, ia sudah kembali dengan seorang laki – laki yang wajahnya bisa mempesona banyak perempuan. “Namanya Ananda Prasetyo, kalian bisa memanggilnya Tyo. Semoga kalian bisa membantunya bila dia menghadapi kesulitan dalam mengikuti pelajaran.”
“Pasti saya bantu, tenang aja Bu,” kata Seshi yang mendapat hadiah sorakan dari teman – teman sekelasnya.
“Vin, ganteng,” bisik Rita.
“Cubit gue Rit,” pinta Vina.
“Serius loe?” tanya Rita lalu dengan sekuat tenaga dicubitnya lengan Vina.
“Aww... Sakit,” jerit Vina.
“Ada apa ini Vina, Rita?” tanya Bu Anis heran melihat dua sahabat ini berisik.
“Ini Bu, Vina nyuruh saya nyubit dia, tapi dia jadi marah – marah setelah saya cubit,” kata Rita menjelaskan.
“Vina?” kata Tyo.
“Hehe... Tyo.”
“Loe kenal Tyo?” tanya Rita heran.
“Dia mantan pacar gue waktu di Bandung Rit,” bisik Vina.
“Mantan elo? Ya Tuhan, jangan lagi. Cukup yang kemarin aja yang Kau buat menjadi suatu permasalahan,” kata Rita.
“Loe kenapa sih?” tanya Vina bingung.
“Gue lagi memohon sama Tuhan, supaya Tyo bukan mantan loe yang bermasalah seperti Bintang kemarin,” kata Rita polos.
“Hahaha...” Vina tertawa pelan. “Dia itu punya masalah dengan dirinya sendiri.”
“Tuh kan, kok lagi?”
“Loe mau sama dia?”
“Kenapa enggak, dia kan ganteng.”
“Tapi kalau loe tahu dia itu seorang gay, loe masih mau sama dia?” bisik Vina.
“Hah? Terima kasih, buat kucing aja deh!” kata Rita lalu mereka berdua tersenyum menahan tawa.




FINISH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar